Jumat, 15 Januari 2016

makalah Konsep Musyawarah Dalam QS. Ali Imran 159 Sebagai Konsep Pemerintahan

Konsep Musyawarah Dalam QS. Ali Imran 159 Sebagai Konsep Pemerintahan
Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah sumber utama dan fundamental bagi agama Islam, ia di samping berfungsi sebagai petunjuk (hudan) antara lain dalam persoalan-persoalan akidah, Syari'ah, moral dan lain-lain —juga berfungsi sebagai pembeda (furqān). Sadar bahwa al-Qur’an menempati posisi sentral dalam studi keislaman, maka lahirlah niatan di kalangan pemikir Islam untuk mencoba memahami isi kandungan al-Qur’an yang dikenal dengan aktivitas penafsiran (al-tafsir). Dalam kaitanya dengan penafsiran al-Qur'an, manusia memiliki kemampuan membuka cakrawala atau perspektif, terutama dalam memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat yang mengandung zanni al-dilalah (unclear statesment). Dari sini tidak dapat disangsikan terdapat penafsiran yang beragam terkait dengan masalah politik antara lain: pertama, yang menyatakan bahwa al-Qur'an memuat ayat-ayat yang menjadi landasan etik moral dalam membangun sistem sosial politik. Kedua, al-Qur'an sebagai sumber paling otoritatif bagi ajaran Islam, sepanjang terkait dengan masalah politik tidak menyediakan prinsip-prinsip yang jelas, demikian pula dengan as-sunnah. Ketiga, terdapat penafsiran yang menyatakan al-Qur'an mengandung aturan berbagai dimensi kehidupan umat manusia di dalamnya termasuk mengatur sistem pemerintahan dan pembentukan negara Islam.
Kitab suci Al- Qur’an sebagai hudan, seharusnya bisa diaplikasikan dalam realitas kehidupan ini. dan salah satu dari petunjuk Al- Qur’an itu adalah musyawarah. Dalam kehidupan bersama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat ataupun bangsa, musyawarah sangat diperlukan. Musyawarah memiliki posisi mendalam dalam kehidupan masyarakat Islam. Bukan hanya sekedar sistem politik pemerintahan, tetapi juga merupakan karakter dasar seluruh masyarakat.
Dalam Islam, musyawarah telah menjadi wacana yang sangat menarik. Karena musyawarah secara tekstual merupakan fakta wahyu yang tersurat dan bisa menjadi ajaran normatif dalam kehidupan, yang dalam setiap perkembangan umat manusia, musyawarah senantiass menjadi bagian yang tak terpisahkan ditengah perkembangan kehidupan umat manusia.
penafsiran tentang musyawarah agaknya menngalami perkembangan dari waktu ke waktu. Demikian pula pengertian dan persepsi tentang istilah musyawarah yang padat makna mengalami evolusi. Seperti yang dijelaskan hamka bahwa evolusi itu terjadi sesuai dengan perkembangan pemikiran, ruang dan waktu. Dewasa ini, pengertian musyawarah dikaitkan dengan beberapa teori politik modern, seperti sistem republik, demokrasi, parlemen, sistem perwakilan dan berbagai aspek yang berkaitan dengan sistem pemerintahan. Keterkaitan musyawarah dengan aspek- aspek lain merupakan suatu indikasi bahwa ayat- ayat tentang musyawarah sangat menarik.
Berdasarkan problemtika diatas penulis mencoba mengkaji lebih ringkas terkait makna musyawarah dalam al-quran melalui beberapa penafsiran untuk mengetahui makna yang dimaksud pada qs. Ali Imran tersebut, sebagai relasi konsep demokrasi yang ditawarkan oleh para pakar barat. Maka dengan melihat kontek lebih luas dengan mengkaitkan system musyawarah sebagai system demokrasi yang menjadi trend konsep pemerintahan dizaman kini, sehingga dengan demikian masalah yang akan kami bahasa ialah: pengertian musyawarah, konsep musyawarah dalam Al- Qur’an, dan pengaplikasi musyawarah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
















Ayat Tentang Musyawarah

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ ( أل عمران 159)
Makna mufrodat: Musyawarah
Istilah “musyawarah” berasal dari kata musyawarah. Ia adalah bentuk masdar dari katasyâwara – yusyâwiru yakni dengan akar kata syin, waw,dan ra’ dalam pola fa’ala. Struktur akar kata tersebut bermakna pokok “ Menampakkan dan menawarkan sesuatu” dan “mengambil sesuatu “ dari kata terakhir ini berasal ungkapan syâwartu fulânan fi amrî: “ aku mengambil pendapat si Fulan mengenai urusanku”.
Quraish syihab menyebutkan dalam tafsirnya, akar kata musyawarah terambil dari kata (شور ) syawara yang pada mulanya bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil / di keluarkan dari yang lain ( termasuk pendapat). Orang yang bermusyawarah bagaikan orang yang minum madu.
Dari makna dasarnya ini diketahui bahwa lingkaran musyawarah yang terdiri dari peserta dan pendapat yang akan disampaikan adalah lingkaran yang bernuansa kebaikan. Peserta musyawarah adalah bagaikan lebah yang bekerja sangat disiplin, solid dalam bekerja sama dan hanya makan dari hal- hal yang baik saja ( disimbolkan dengan kembang), serta tidak melakukan gangguan apalagi merusak dimanapun ia hinggap dengan catatan ia tidak diganggu. Bahkan sengatannya pun bisa menjadi obat. Sedangkan isi atau pendapat musyawarah itu bagaikan madu yang dihasilkan oleh lebah. Madu bukan hanya manis tapi juga menjadi obat dan karenanya menjadi sumber kesehatan dan kekuatan. Itulah hakekat dan semangat sebenarnya dari musyawarah. Karenanya kata tersebut tidak digunakan kecuali untuk hal- hal yang baik- baik saja.
Dalam Al- Qur’an terdapat empat kata yang berasal dari kata kerja syâwara, yakni asyâra “ memberi isyarat”, tasyâwur ( berembuk saling menukar pendapat), syâwir ” mintalah pendapat”, dan syara “ dirembukkan”. Dua kata terakhir ini relevan dengan kehidupan politik atau kepimimpinan.

Asbabun Nuzul
Perintah bermusyawarah pada ayat diatas turun setelah peristiwa menyedihkan pada perang Uhud, ketika itu menjelang pertempuran, Nabi mengumpulkan sahabat- sahabatnya untuk memusyawarahkan bagaimana sikap menghadapi musuh yang sedang dalam perjalanan dari makkah ke madinah. Nabi cenderung untuk bertahan dikota Madinah, dan tidak keluar menghadapi musuh yang datang dari makkah. Sahabat- sahabat beliau terutama kaum muda yang penuh semangat mendesak agar kaum muslim dibawah pimpinan Nabi Saw atau keluar menghadapi musuh. Pendapat mereka itu mendapat dukungan mayoritas, sehingga Nabi menyetujuinya. Tetapi, peperangan berakhir dengan gugurnya para sahabat yang jumlahnya tidak kurang dari tujuh puluh orang.
Konteks turunnya ayat ini, serta kondisi psikologis yang dialami Nabi dan sahabat beliau amat perlu digaris bawahi untuk melihat bagaimana pandangan Al- Qur’an tentang musyawarah.
Ayat ini seakan – akan berpesan kepada Nabi, bahwa musyawarah harus tetap dipertahankan dan dilanjutkan. Walaupun terbukti pendapat yang mereka putuskan keliru. Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransi dan menjadi tanggung jawab bersama, dibandingkan dengan kesalahan seseorang meskipun diakui kejituan pendapatnya sekalipun.
Sebagaimana sebuah ungkapan:
ما خاب من استشار ولا ندم من استخار, “ takkan kecewa orang yang memohon petunjuk ( kepada Allah) tentang pilihan yang terbaik, dan tidak juga akan menyesal seseorang yang melakukan musyawarah.


Munasabah Ayat
QS Ali Imran (3): 159 merupakan satu diantara tiga ayat yang secara langsung menjelaskan tentang musyawarah. Dua ayat lainnya adalah al baqarah (2:233) وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (233)
Yang menjelaskan tentang bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak- anak seperti dalam ayat ini tentang menyapih anak. Ayat ini sebagai petunjuk agar persoalan – persoalan rumah tangga dimusyawarahkan bersama antara suami dan istri. Ayat yang senada dengan ayat tersebut adalah وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (attalaq , 65:6) meskipun dengan menggunakan وَأْتَمِرُوا ( berembuklah) yang kemudian melahirkan kata ‘ muktamar’
Ayat lainnya adalah dalam surat As-syura (42:38) وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ yang menjelaskan tentang keadaan kaum muslim madinah yang bersedia membela nabi sebagai hasil kesepakatan dari proses musyawarah. Dalam ayat itu, musyawarah sudah menjadi tradisi masyarakat dalam memutuskan segala perkara mereka.
QS Ali Imran (3): 159 memiliki munasabah yang erat dengan QS. Al- Syuraa(42): 38 yang sama- sama berbicara tentang musyawarah. Sikap dan perangai Nabi tersebut harus dicontoh umatnya, terutama ketika mereka bermusyawarah dalam upaya mengatasi persoalan yang mereka hadapi. Baik persoalan tersebut menyangkut masalah pemerintah dalam skop luas maupun persoalan rumah tangga dalam skop yang lebih kecil seperti yang ditegaskan dalam QS al Baqarah(2):233

Kandungan Ayat
Ayat yang menjadi pembahasan mengenai musyawarah yaitu QS Ali Imran (3): 159, turun setelah peristiwa perang uhud. Sebelum perang dilakukan, nabi mengajak para sahabatnya untuk musyawarah tentang bagaimana menghadapi musuh. Pada musyawarah tersebut, nabi mengikuti pendapat mayoritas sahabat, meskipun ternyata hasilnya sungguh sangat menyedihkan karena berakhir dengan kekalahan kaum muslimin. Setelah kejadian itulah nabi memutuskan untuk menghapus musyawarah. Namun dengan turunnya ayat ini, Allah berpesan kepada nabi bahwa tradisi musyawarah tetap harus dipertahankan dan dilanjutkan meski terbukti hasil keputusannya ( kadang ) keliru.
Dari ayat tersebut, dapat diambil empat sikap ideal ketika dan setelah melakukan musyawarah:
1. Sikap lemah lembut. Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi pemimpin harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala.
2. Memberi maaf dan membuka lembaran baru. Sikap ini harus dimiliki peserta musyawarah, sebab tidak akan berjalan baik, kalau peserta masih diliputi kekeruhan hati apalagi dendam
3. Memiliki hubungan yang harmonis dengan Tuhan yang dalam ayat itu dijelaskan dengan permohonan ampunan kepada- Nya. Itulah sebabnya yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfiroh dan ampunan Ilahi, sebagai mana ditegaskan oleh pesan وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
Setelah selesai semuanya harus diserahkan kepada Allah, yaitu tawakkal

Beberapa sikap tersebut ideal namun sekaligus berat. Fakhrudin Ar-Razi menangkap beberapa sikap positif dalam musyawarah
1. Musyawarah merupakan bentuk penghargaan terhadap orang lain dan karenanya menghilangkan anggapan paternalistik bahwa orang lain itu rendah
2. Meskipun nabi adalah pribadi sempurna dan cerdas, namun sebagai manusia ia memiliki kemampuan yang terbatas. Karenanya beliau sendiri menganjurkan dalam sabdanya” tidak ada satu kaum yang bermusyawarah yang tidak ditunjuki kearah penyelesaian terbaik perkara mereka.
3. Menghilangkan buruk sangka. Dengan musyawarah prasangka terhadap orang lain menjadi tereliminasi.
4. Mengeliminasi beban psikologis kesalahan. Kesalahan mayoritas dari sebuah hasil musyawarah menjadi tanggung jawab bersama dan lebih bisa ditoleransi dari pada kesalahan keputusan individu. Hal- hal positif muncul karena musyawarah menghasilkan masyurah: pendapat, nasihat, dan pertimbangan.

Objek Musyawarah
Ayat diatas juga menjelaskan bahwa lapangan musyawarah( obyek) musyawarah(فِي الْأَمْرِ)adalah segala masalah yang belum terdapat petunjuk agama secara jelas dan pasti sekaligus berkaitan dengan kehidupan duniawi.
dalam Al-qur’an ditemukan dua ayat lain yang menggunakan akar kata musyawarah, untuk memahami lapangan musyawarah.
Pertama, Al baqarah (2:233). Ayat ini sebagai petunjuk agar persoalan – persoalan rumah tangga dimusyawarahkan bersama antara suami dan istri.
Ayat lainnya adalah dalam surat As-syura(42:38) وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ yang menjelaskan tentang keadaan kaum muslim madinah yang bersedia membela nabi sebagai hasil kesepakatan dari proses musyawarah. Dalam ayat itu, musyawarah sudah menjadi tradisi masyarakat dalam memutuskan segala perkara mereka.
Dalam soal amr atau urusan, di temukan adanya urusan yang hanya menjadi wewenang Allah semata. Terlihat dalam jawaban Allah mengenai ruh ( baca Al- isra’[17]:85), datangnya kiamat ( An nazi’at[ 79]: 42)demikian juga mengenai taubat( Ali- Imran[ 3]: 128).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa persoalan- persoalan yang telah ada petunjuknya dari Allah secara tegas dan jelas. Maka persoalan tersebut bukan lagi masuk dalam kategori yang di musyawarahkan. Musyawarah hanya dilakukan dalam hal- hal yang belum ditentukan petunjuknya serta soal- soal kehidupan duniawi.
Jika dikaitkan dengan cita- cita politik yang telah dikemukakan , maka objek musyawarah mencakup masalah
1. Pembinaan sistem politik
2. Pengembangan dan pemantapan agama islam dalam kehidupan masyarakat dan Negara
3. Pembinaan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat dan Negara

Subjek Musyawarah
Orang- orang yang bisa dan layak diajak musyawarah sebagaimana yang tersirat dalam Q.s. asy- Syuura: 38, bahwa setiap persoalan yang dipecahkan secara kolektif kolegial akan memberikan manfaat dan kemaslahatan yang luas. Bahkan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin tidak membatasi keterlibatan non islam dalam menyumbangkan sarannya untuk memecahkan masalah. Karena musyawarah dalam Islam itu bersifat inklusif.
Kerja sama dalam muamalah duniawiyah, disebutkan dalam qaidah ushul, al ashlu fi al- muamalah al- ibahah ( pada prinsipnya semua bentuk kerja sama muamalah itu diperbolehkan dan boleh dipecahkan secara bersama dan tidak menjadi monopoli umat Islam saja) sebab target pertama adalah membangun iklim kondusif dalam memecahkan persoalan keumatan.

Musyawarah (Syura) dan Demokrasi
Al – qur’an dan Sunnah menetapkan beberapa prinsip pokok berkaitan dengan kehidupan politik, seperti keadilan, tanggung jawab, kepastian hukum, jaminan haq al- ‘Ibad ( hak- hak manusia), dan lain- lain, yang kesemuanya memiliki kaitan dengan syura atau demokrasi.
Istilah Syūra berasal dari kata شاور- يشاور (syawara-yusyāwiru) yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. تشاور (tasyāwara) berarti saling berunding, saling tukar pendapat. Secara Lugawi Syūra berarti permusyawaratan, hal bermusyawarah atau konsultasi. Sedang menurut istilah berarti sarana dan cara memberi kesempatan pada anggota komunitas yang mempunyai kemampuan membuat keputusan yang sifatnya mengikat baik dalam bentuk peraturan hukum maupun kebijaksanaan politik. Menurut Abu Faris syūra adalah pemutarbalikan bernagai pendapat dan arah pandangan yang terlempar tentang suatu masalah, termasuk pengujianya dari kaum cendekiawan, sehingga mendapat gagasan yang benar, dan baik.
Konsep syūra sendiri menurut Fazlur Rahman senyatanya merupakan suatu proses di mana setiap orang harus saling berkonsultasi dan mendiskusikan persoalan secara konstruktif dan kritis untuk mencapai tujuan bersama. Semua itu diletakkan dalam kerangka nilai keadilan, kesederajatan, dan pertanggungjawaban sehingga tujuan yang ingin dicapai benar-benar bersifat objektif dan independen. Menurut Munawir Sjadzali, dalam bukunya “Islam dan Tata Negara” menyebutkan musyawarah merupakan petunjuk umum dalam menyelesaikan masalah bersama, soal teknisnya tidak ada pedoman baku, maka ijtihad merupakan jalan keluarnya Qs: Ali Imran (3):159, Qs: as-Syūra ayat 38.
Islam dalam hal ini sangat menekankan kepada umatnya untuk mengembangkan konsep syūra dalam mengangkat dan menyelesaikan berbagai persoalan yang bersentuhan dengan persoalan publik, terutama masalah politik yang dalam realitasnya memiliki sisi-sisi yang sangat rentan konflik. Dengan demikian, konsep syūra ini adalah termasuk prinsip-prinsip dasar yang terkait erat dengan masalah negara dan pemerintahan serta hubungan dengan kepentingan rakyat yang dalam kacamata al-siyasah al-syari’ah meliputi tiga aspek utama. Pertama al-dusturiyyah, meliputi aturan pemerintahan prinsip dasar yang berkaitan dengan pendirian suatu pemerintahan, aturan-aturan yang terkait dengan hak-hak pribadi, masyarakat dan negara. Kedua, kharijiyyah (luar negeri), meliputi hubungan negara dengan negara yang lain, kaidah yang mendasari hubungan ini, dan aturan yang berkenaan dengan perang dan perdamaian. Ketiga, maliyyah (harta), meliputi sumber-sumber keuangan dan perbelanjaan negara.
Para pemikir muslim terbelah kebeberapa kelompok ketika membahas masalah demokrasi dan syura. Sebagian mereka mengatakan bahwa demokrasi dan syura memiliki nilai – nilai kesamaan. Sebagian mereka lainnya menegaskan, antara demokrasi dan syura saling bertolak belakang, bahkan bertentangan.
Jika kita melihat pengertian dari demokrasi itu sendiri secara tujuan dan esesnsinya memiliki keasaamaan. Sebagaimana kita ketahui dari beberapa para pakar politik makna demokrasi ialah:
Secara etimologis, demokrasi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan cratia atau cratos, yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Dari dua kata ini, demo-cratein atau demos-cratos dapat diartikan sebagai kekuasaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat, dan kekuasaan rakyat. Sistem demokrasi yang dianut di negara kota Yunani Kuno adalah demokrasi langsung (direct democracy) dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Menurut Miriam Budiardjo, sistem ini dapat dilaksanakan dengan efektif karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana, wilayah yang terbatas, dan jumlah penduduk yang hanya sekitar 300.000 orang.Dalam perkembangannya, seiring dengan kompleksitas kondisi masyarakat, sistem demokrasi ini berkembang menjadi sistem perwakilan, representative democracy, dimana rakyat memilih wakil-wakilnya untuk mengambil keputusan-keputusan politik.
Sementara secara terminologis, para ilmuwan politik tidak memiliki kesepakatan dalam mendefinisikan demokrasi.
Menurut Ian Adams, setelah Perang Dunia II, Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), UNESCO ketika berusaha menjelaskan cita-cita demokrasi, menugaskan sejumlah sarjana untuk mencari definisi demokrasi yang dapat disepakati oleh semua pihak. Namun dalam laporannya, Democracy in a World of Tensons (UNESCO, Paris 1991), para sarjana itu mengakui telah menemui kegagalan karena terdapat begitu banyak definisi demokrasi yang saling bertentangan dan mustahil untuk dicapai kesepakatan.

Menurut Robert A. Dahl, demokrasi adalah sistem politik dimana para anggotanya saling menolong antara yang satu dengan yang lainnya, sebagai orang-orang yang sama dari segi politik, dan mereka secara bersama-sama, berdaulat dan memiliki kemampuan sumber daya, dan lembaga-lembaga yang mereka perlukan demi untuk keperluan mereka sendiri.

Sementara menurut Deliar Noer, demokrasi sebagai dasar hidup bernegara mengandung pengertian bahwa pada tingkat terakhir, rakyat memiliki ketentuan dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya.

Menurut Masykuri Abdillah, definisi yang paling umum tentang demokrasi adalah definisi yang diberikan oleh Joseph A. Schmpeter, yaitu suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.

Menurut Nurchalish Madjid, dari beragam definisi tentang demokrasi, terdapat titik temu tentang pengertiannya secara umum. Menurut Nurchalish, para “penghayat demokrasi” semestinya mempelajari pandangan teoritis yang lebih “absah” tentang kekuasaan politik di tangan rakyat, dalam pengertian bahwa rakyatlah yang menentukan langsung pemimpin mereka.

Sementara secara lebih spesifik Yusuf al-Qardâwî menjelaskan bahwa hakikat demokrasi adalah bahwa rakyat yang akan memerintah dan menata persoalan mereka. Tidak boleh dipaksakan kepada mereka pemimpin yang tidak mereka sukai, atau rezim yang mereka benci. Rakyat diberikan hak untuk mengoreksi pemimpinnya bila dia keliru. Diberikan hak untuk mencabut dan mengganti pemimpin tersebut apabila dia menyimpang. Rakyat tidak boleh dipaksa untuk mengikuti berbagai sistem ekonomi, sosial, dan politik yang tidak mereka kenal dan sukai, bila sebagian menolak, mereka tidak boleh disiksa atau difitnah.Menurut Qardâwî, demokrasi seperti ini memberikan beberapa bentuk dan cara praktis seperti pemilihan dan referendum umum, mendukung pihak mayoritas, menerapkan sistem multipartai, memberikan hak kepada minoritas untuk beroposisi, menjamin kebebasan pers dan kemandirian pengadilan.
Kata dan konsep demokrasi dapat ditelusuri secara historis ketika konsep ini pertama kali digunakan sebagai sistem politik dalam praktek negara-kota (city-state) di Yunani Kuno menjelang pertengahan abad kelima atau ke enam Sebelum Masehi. Orang Yunani menyebut sistem politik mereka dengan istilah democratia.
Terlepas dari itu semua, baik syura maupun demokrasi intinya adalah musyawarah dalam sebuah pengambilan keputusan. Di dalamnya terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaan itu tertuang dalam konsep nilai dan teknisnya. Islam sendiri menjadi sifat dasar dari demokrasi, ini dikarenakan konsep syura, ijtihad dan ijma’ merupakan konsep yang sama dengan demokrasi. Sedangkan perbedaannya, lebih kepada konsep historis.

Hamka dalam karyanya tidak memberikan definisi secara jelas tentang syūra. Ia menjelaskan bahwa al-Qur'an dan hadis tidak memberikan informasi detail tentang bagaimana melakukan syūra. Sebagai bahan pertimbangan Rasulullah dalam hal ini memakai menteri-menteri utama seperti Abu Bakar, Umar, dan menteri tingkat kedua yakni Usman dan Ali, kemudian terdapat enam menteri lain, serta satu menteri ahli musyawarah dari kalangan Anshar. Islam menurut Hamka telah mengajarkan pentingnya umat mempraktikkan sistem syūra ini. Sementara itu, teknik pelaksanaanya tergantung pada keadaan tempat da keadaan zaman. Sementara itu, menurut Hamka dalam Qs: as-Syura ayat 38 mengandung penjelasan bahwa kemunculan musyawarah disebabkan karena adanya jamaah. Dalam melakukan shalat diperlukan musyawarah untuk menentukan siapa yang berhak untuk menjadi imam. Dengan demikian, menurut Hamka dasar dari musyawarah telah ditanamkan sejak zaman Makah. Sebab, ayat ini (al-Qur'an surah as-Syura) diturunkan di Makah. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa dalam menjalankan musyawarah harus didasarkan pada asas al-maslah{at. Nabi dalam hal ini menegaskan segala urusan terkait dengan dunia, misal masalah perang, ekonomi, hubungan antar sesama manusia dibangun atas dasar dibangun atas dasar timbangan maslahat dan mafsadat-nya.
Hamka dalam hal ini mengkontekskan ayat al-Qur'an tentang syūra dalam konteks keindonesiaan. Menurutnya, bangsa Indonesia dapat memilih sistem pemerintahan dalam bentuk apapun untuk menjalankan roda pemerintahan, tetapi tidak boleh meninggalkan sistem sura yang di dasarkan atas maslahat. Sampai di sini dapat dikatakan bahwa maslahat adalah prinsip dasar dalam melakukan syūra yang wajib dilakukan oleh setiap bangsa dan negara.

Untuk menyiasati sekat perbedaan tersebut, Gus Dur memberikan solusi dengan mencoba mengadakan transformasi nilai- nilai agama. Upaya yang ditempuh adalah mengubah komitmen agama yang dari hanya bersandar pada teks normatif kepada kepedulian terhadap nilai- nilai kemanusiaan. Agama akan dapat selaras dengan demokrasi jika memiliki watak membebaskan. Islam hadir untuk membebaskan umatnya berkreasi dalam menciptakan peradaban yang lebih manusiawi. Agama apapun sama- sama mengemban misi perbaikan kehidupan umat manusia melalui perubahan struktur masyarakat. Titik temu antara agama dan demokrasi inilah yang harus dikedepankan sehingga pada gilirannya proses demokrasi tidak kehilangan ruh ketuhanannya. Tidak terjebak dalam budaya menyimpang seperti hedonisme dan meterialisme. Kalau kita lihat dari kaca mata kemanusiaan, bahwa demokrasi (syura) [11]benar- benar memberikan pendidikan kepada masyarakat luas tentang nilai- nilai kejujuran, keterbukaan dan keselarasan.[12]
Esensi demokrasi dapat kita lihat dari pemilu yang diadakan untuk memilih presiden atau pemimpin suatu negara. Bahkan kini kita telah mulai melaksanakan pemilihan pemimpin pemerintahan tingkat provinsi dan kota. Sistem pemerintahan seperti ini sesuai dengan ajaran Islam yaitu yang telah diajarkan pendahulu kita dalam pemilihan khilafah, sejak wafatnya Rasulullah.
Di Indonesia, praktek demokrasi dengan mengutamakan musyawarah merupakan suatu bukti bahwa negara Indonesia memiliki jati diri dengan menyesuaikan pelaksanaan demokrasi dengan kepribadian bangsa. Selain itu musyawarah mufakat juga sesuai dengan ajaran Islam, karena Islam mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan. Kalau kita perhatikan dalam ormas Islam di Indonesia, misalnya saja seperti NU, kita akan menemukan dewan Majelis syura (dewan musyawarah) yang bertugas menampung suara- suara masyarakat. Seperti yang kita tahu kiprah para ulama- ulama kita yang sejak zaman kemerdekaan sudah sepakat dengan demokrasi, dengan meminjam istilah KH wahab hasbullah” bersepakat untuk tidak bersepakat. berbeda tetapi tetapa bersaudara.
Namun yang terjadi saat ini, meskipun Indonesia disebut sebagai negara paling demokratis didunia, tetapi lebih sering memilih budaya voting dalam mengambil keputusan. Akibatnya, substansi dan nilai- nilai demokrasi terabaikan. Apalagi kalau voting itu tidak jernih untuk memilih opsi, termasuk disertai dengan penyakit paling berbahaya dalam demokrasi, yaitu politik uang.
Praktek demokrasi (syura) pada masa Nabi Muhammad seharusnya menjadi contoh pengalaman terbaik bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Prinsip- prinsip demokrasi yang di praktikkan pada masa awal Islam – dari periode kepemimpinan Nabi hingga keempat khalifah pengganti Nabi, bisa menjadi rujukan berharga bagi proses demokrasi di Indonesia.
Demokrasi dalam pandangan islam
Dalam konteks relevansi dari konsep representative democracy dengan Islam, bentuk yang paling mendekati konsep ini adalah sebuah komite yang dibentuk oleh khalîfah ‘Umar ibn al-Khattâb menjelang beliau wafat. Komite yang terdiri dari enam orang sahabat senior, yakni ‘Ali ibn Abi Tâlib, ‘Utsmân ibn ‘Affân, Sa‘d ibn Abi Waqqâs, Abd al-Rahmân ibn ‘Auf, Zubair ibn Awwâm, dan Talhah ibn ‘Ubaidillâh, memiliki tugas untuk merundingkan pengganti khalîfah sepeninggalnya. Apabila terdapat kesamaan jumlah suara, maka pengganti khalîfah terpilih adalah yang disetujui oleh ‘Abd Allâh ibn ‘Umar sebagai suara ketujuh.
Pembentukan komisi ini, meski tidak sama, memiliki kedekatan dengan konsep representative democracy, dimana individu-individu yang dianggap mewakili rakyat memilih pemimpin mereka dengan sistem suara terbanyak.Selain itu, kedekatan demokrasi dan Islam menurut John L. Esposito dan John O. Voll juga dapat ditelusuri dari konsep-konsep islami yang telah lama bertahan, yaitu prinsip musyawarah (syûra), persetujuan (ijma‘), dan penilaian interpretatif (ijtihâd.)
Menurutnya, perwakilan rakyat dalam sebuah negara tercermin terutama dalam doktrin musyawarah (syûra). Karena suara Muslim yang dewasa dan berakal sehat, baik pria maupun wanita, adalah khalîfah Tuhan. Mereka mendelegasikan kekuasaan mereka kepada penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani permasalahan Negara.
Namun demikian, sebagian umat Islam seperti Jamâ‘ah Hizb al-Tahrîr, memberikan pandangan yang menunjukkan ketidakseseuaian antara Islam dan demokrasi. Kelompok seperti Hizb al-Tahrîr, mempertentangkan antara aksioma demokrasi, kedaulatan ditangan rakyat, dengan keyakinan Islam bahwa kekuasaan menetapkan hukum adalah milik Allah. Kelompok ini merujuk pada landasan al-Qur’ân Sûrah Yûsûf/12: 40,
Namun Qardâwî, tidak sependapat dengan pandangan ini. Baginya, pendapat yang mempertentangkan antara pemerintahan rakyat dan kedaulatan Tuhan merupakan pendapat yang tidak tepat. Prinsip kedaulatan di tangan rakyat yang merupakan landasan demokrasi tidak bertentangan dengan prinsip kedauatan di tangan Allah yang merupakan landasan fundamental Islami, tapi bertentangan dengan prinsip kekuasaan individu yang merupakan dasar pemerintahan diktator.
Selaras dengan itu, menurut Yudi Latif, pengakuan Muslim terhadap kedaulatan rakyat ini tidak lagi menjadi masalah, karena pemahaman terhadap kedaulatan Tuhan yang semula dipandang bertentangan dengan kedaulatan rakyat telah direvisi dengan pandangan bahwa kedua hal itu tidak berlawanan. Dikatakan tidak berlawanan sebab kedaulatan Tuhan bisa didelegasikan kepada kedaulatan rakyat. Istilah khalîfah tidak harus dilekatkan kepada penguasa, tetapi kepada seluruh manusia. Kehendak Tuhan dapat diartikulasikan lewat kehendak rakyat melalui pemerintahan perwakilan.










DAFTAR PUSTAKA
Lajanah Pentashihan Mushaf Al- Qur’an, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik(Tafsir Al- Qur’an Tematik), (Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI: 2009),h. 220-221
M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur’an: Tafsir maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung, h. 467
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994.
Quraish shihab, Al Misbah,lentera hati, Jakarta,2002 h. 244-247
Waryono Abdul Ghafur,Tafsi Ayat Sosial, ElSAQ Press, Yogyakarta, 2005,h. 156-157
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, terj. Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq, Yogyakarta: 1996.
Ahmad Syafi’i Ma’arif, “Posisi Sentral al-Qur'an dalam Studi Islam”, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian agama; Sebuah pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, terj. Yudian W. Asmin dan Lathiful Kh
Hamka, Islam Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, Jakarta: Pustaka panjimas, 1984.
T.W. Arnold, “Khalifa” dalam M.TH. Houstma, (ed.), First Encyclopedia of Islam, Leiden: E.J. Brill, 1987.
M. Abdul al-Manar, Pemikiran Hamka, Kajian Filsafat dan Tasawuf, Jakarta: Prima Aksara, 1993.
Tim, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichiar baru Van Hoeve, 1982.
Fazlur Rahman dalam Islamic Studies Vol. VI, No. 2, 1967.
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, 1993.
Idris Thaha, Demokrasi Religius, Teraju, Jakarta, 2005,h. 33-34.
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Hakikat Sistem Politik Islam, Yogyakarta: PLP2M, 1987.
Qamaruddin Khan, Al-Mawardi's Theory of the State, Delhi: Muhammad Ahmad for Idarah Adabiyah, 2009, 1979.
T.W. Arnold, “Khalifa” dalam M.TH. Houstma, (ed.), First Encyclopedia of Islam, Leiden: E.J. Brill, 1987.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar