Jumat, 15 Januari 2016

Makalah lengkap biografi IMAM THOBATHABA’I DAN TAFSIR AL-MIZAN

IMAM THOBATHABA’I DAN TAFSIR AL-MIZAN
Latar Belakang Dan Rumusan Masalah
Al-Qur’an adalah Kitab Suci yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad, yang dinukil secara mutawatir kepada kita, yang isinya memuat petunjuk bagi kebahagiaan kepada orang yang percaya kepadanya. Al-Qur’an, sebuah kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci juga diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana Lagi Maha Tahu. Sekalipun turun di tengah bangsa Arab dan dengan bahasa Arab, tetapi misinya tertuju kepada seluruh umat manusia, tidak berbeda antara bangsa Arab dengan bangsa non Arab, atau satu umat atas umat lainnya.
Keberadaan al-Qur’an di tengah-tengah umat Islam, karena berfungsi sebagai hudan (petunjuk), furqan (pembeda), sehingga menjadi tolok ukur dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan, ditambah keinginan untuk memahami petunjuk yang terdapat didalamnya telah melahirkan beberapa metode untuk memahami al-Qur’an. Bermunculanlah karya-karya tafsir yang beraneka ragam yang kesemuanya berkeinginan untuk memahami apa yang terdapat didalam al-Qur’an agar dapat membimbing dan menjawab permasalahan-permasalahan umat manusia dimuka bumi ini.
Salah satu karya tafsir yang fenomenal adalah kitab tafsir al-Mizan karya Thabathabai. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan di bahas mengenai biografi Thabathaba’i, profil dan manhaj penafsiran kitab Tafsir al-Mizan, dan kelebihan dan kekurangan kitab Tafsir al-Mizan, sehingga nantinya dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Dari latar belakang di atas, penyusun dapat menyikapi ada beberapa masalah yang akan dikaji dalam makalah ini untuk memperdalam pembahasan sesuai dengan yang diharapkan oleh dosen mata kuliah tafsir kontemporer, adapun kajian makalah kami ini ialah diantaranya mengenai biografi imam biografi Thabathaba’i sampai perjalanan kehidupannya, metodologi yang digunakan dalam penafsiran al-quran, serta corak yang digunakan oleh imam thabathabai dalam menafsirkan al-quran, begitu pula karakteristik dari tafsir al-Mizan, dan mengenai beberapa pendapat ulama atas tafsirnya baik itu yang mencakupi kelebihan tafsirnya ataupun kekurangannya.
sedikitnya dengan mengkaji beberapa masalah tersebut penulis dan yang lainnya dapat memahami secara mendalam siapa itu imam tabathabai serta pemikirannya dalam penafsiran alquran, demikian juga menjadi tujuan kami, dimana agar kami mahir dan menerapkan metodologi yang beliau pakai dalam menafsirkan al-quran tersebut.

Biografi Imam Thabathaba’i
Al-Thabathaba’i bernama lengkap Sayyid Muhammmad Husain bin al-Sayyid Muhammad Husain bin al-Mirza ‘Ali Ashghar Syaikh al-Islam al-Thabathaba’i al-Tabrizi al-Qadhi. Nama al-Thabathaba’i adalah sebuah nama yang dinisbatkan kepada salah satu kakeknya, yakni Ibrahim Thabathaba’i bin Isma’il al-Dibaj. Ia dilahirkan di kota Tabriz, pada 29 Zulhijjah 1321 H/1892 M. Ia lahir dan tumbuh besar dalam sebuah keluarga ulama terkemuka dan terkenal akan keutamaan dan pengetahuannya terhadap agama. Nasabnya bersambung hingga Nabi Muhammad Saw., dan termasuk dari keturunan yang keempat belas. Semua kakek-kakeknya adalah ulama-ulama terkemuka dan terkenal di kota Tabriz.
Dalam buku pak andi rosa, tempat yang menjadi kelahirannya yang terdetail yaitu di darakah, sebuah desa kecil di sisi pegunungan dekat teheran, di tempat inilah allamah imam thabathaba’i menghabiskan hari-harinya dimusim panas dan menyingkir adari panasnya kota Qum. Al-Thabathaba’i tumbuh berkembang dalam kehidupan yang dipenuhi dengan tradisi keilmuan. Sistem pendidikan yang diperolehnya sedari kecil adalah sistem pendidikan khusus yang dikenal dengan sebutan sistem pendidikan Hauzah. Ia begitu aktif mengikuti kajian-kajian yang diadakan di masjid-masjid.
Ia telah menekuni bahasa Parsi, bahasa Arab, tata bahasa, sastra dan berbagai ilmu sejak masa kecilnya. Thabathabai lebih cenderung tertarik pada pengetahuan aqliyah. Ia juga mempelajari ilmu matematika tradisional, filsafat Islam tradisional, ilmu gramatika dan lain-lain. Disamping mengajarkan ilmu-ilmu tersebut ia juga mengajarkan kepada murid-murid tertentunya tentang ilmu ma’rifat dan seluk-beluk perbandingannya. Ibunya meninggal ketika ia masih berumur lima tahun, empat tahun berselang kemudian ayahnya meninggal. Sejak itu, untuk melangsungkan kehidupan sehari-hari, seorang wali (pengurus harta peninggalan orang tua) menyerahkan al-Thabathaba’i dan adik putrinya kepada seorang pelayan laki-laki dan seorang pelayan perempuan.
Perjalanan panjang al-Thabathaba’i dalam mencari intelektualitasnya dimulai di kota kelahirannya, Tabriz. Serta tumbuh besar dan menyelesaikan pendidikan keagamaan di kota tersebut. Kemudian pada tahun 1903 M, ia pindah ke kota Najf. Di kota Najf al-Asyraf (Irak), pusat paling penting untuk pendidikan keagamaan Islam. Disinalah al-Thabathaba’i mempelajari stady agama islam secara mendalam dibidang syariat dan ushul fiqih kepada dua syaikh yang sangat terkemuka pada zaman itu, yaitu mirza muhammad husain na’ini dan syaikh muhammad husain ishfahani. Akan tetapi al-Thabathaba’i ini ebih tertarik pada ilmu ‘aqliyah dari salah satu tokoh tradisional, sayyid abdul qosim khwansari dan badukuba’i tegasnya dari dau tokoh yang berbeda pemikirannya. Bukan hanya di ilmu aqliyah saja al-Thabathaba’i menggeluti hari-hariya, al-Thabathaba’i juga ternyata mempelajari ilmu khuduri (ilmu-ilmu yang dipelajari langsung dari allah swt) atau makrifat yang melaluinya pengetahuan menjelma menjadi penampakan supranatural. Ilmu ini al-Thabathaba’i dapat mempelajarinya dengan sangat tekun kepada mirza ali qodhi, sebagai seorang guru spiritual berhasil nya, al-Thabathaba’i mematuhi akan perintah serta bimbingannya sehingga dengan hal tersebut al-Thabathaba’i berhasil mencapai kesempurnaan spiritualnya. Dengan demikian selama perjalan di najf al-Thabathaba’i telah mencapai keintelektualanya serta kezuhudan dan praktek-praktek spiritual.
Pada tahun 1934 al-Thabathaba’i kembali ke tabriz dan menghabiskan beberapa tahun yang sunyi silam, al-Thabathaba’i mengajar sejumlah anak-anak kecil, akan tetapi ini tidak begitu lama sebab pada waktu itu di tabiz sedang mengalami pergolakan, yaitu terjadinya perang dunia ke dua (1945) sehingga al-Thabathaba’i pindah ataupun mengungsi ke Qum. Di daerah Qum al-Thabathaba’i menebarkan sayap-sayap keilmuannya di pusat pengkajian keagamaan di persia. al-Thabathaba’i mengajar ilmu tafsir serta filasat secara mendasar soalnya sebelumnya tidak ada pengkajian atau pembelajaran menganai tafsir dan filsafat ini. Sehingga hal ini dapat membawa nama nya tenar di daerah luar irak. Selain itu al-Thabathaba’i telah memberikan pengaruh yang besar, baik dalam basis tradisional maupun modern. Sebelum mengakhiri hidupnya muhammad husain thabathaba’i nama nya tenar di daerah luar irak, akan tetapi ini tak selamanya karna pada tanggal 15 November 1981 muhammad husain thabathaba’i wafat, setelah lama dirundung sakit dan kota Qum sebagai saksi perpisahan beliau dengan para murid-muridnya dan pengabdiannya pada orang-orang disekitarnya,. Ratusan ribu orang termasuk para ulama dan pembesar serta tokoh-tokoh pejuang keagamaan menghadiri pemakamannya. Hal ini menjadi bukti bahwa beliau seorang sosok ulama yang berkepribadian agung, kecintaanya pada ilmu aqliyah dan batiniah. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil didikannya yaitu sayyid jalal al-din assytiyani dan Murtadho. Menurut Muhsin Labib, dalam bukunya, Para Filosof bahwa Ath-Thabataba’i telah mencetak puluhan ulama dan pemikir yang memberikan kontribusi besar dalam pengembangan studi filsafat, politik, irfan, tafsir dan lainnya, seperti:
1. Ayatullah Zawadi Amoli.
2. Ayatullah Murtadho Mutahhari.
3. Ayatullah Hasan Hasan Zadeh Amoli.
4. Ayatullah Yahya Anshari syirazi.
5. Ayatullah Muhammad Husein Bhesyti.
6. Ayatullah Mehdi Haeri Yazdi.
7. Ayatullah Murtadha Haeri Yazdi.
8. Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi.
9. Ayatullah Jalalud-Din Asytiyani.
10. Ayatullah Ja’far Subhani, Dan lain-lain.

Karya-karya ilmiah al-thabathaba’i
Dalam bidang tulis menulis, al-Thabathaba’i juga termasuk penulis produktif yang menghasilkan karya-karya orisinil. Di samping karya monumentalnya, Tafsir al-Mizan, Al-Thabathaba’i juga memiliki karya-karya lainnya dalam berbagai disiplin ilmu, di antaranya adalah:
1. Risalah fi al-Burhan (Risalah tentang Penalaran) berbahasa Arab.
2. Risalah fi al-Mugalatah (Risalah tentang Sofistri) berbahasa Arab.
3. Risalah fi al-Tahlil (Risalah tentang analisis) berbahasa Arab.
4. Risalah fi al-Tarkib (Risalah tentang susunan) berbahasa Arab.
5. Risalah fi al-I’tibariyyat (Risalah tentang Gagasan Asal-Usul Manusia) berbahasa Arab.
6. Risalah fi al-Nubuwwah wa al-Manamat (Risalah tentang Kenabian dan Mimpi-mimpi) berbahasa Arab.
Sedangkan buku-buku yang ditulis ketika ia bermukim di Tabriz adalah:
1. Risalah fi al-Asma’ wa al-Sifat (Risalah tentang Nama-nama dan Sifat Tuhan) berbahasa Arab.
2. Risalah fi al-Af’al (Risalah tentang Perbuatan-perbuatan Tuhan) berbahasa Arab.
3. Risalah al-Insan Qabla al-Dunya (Risalah tentang Manusia Sebelum di Dunia) berbahasa Arab.
4. Risalah al-Insan fi al-Dunya (Risalah tentang Manusia di Dunia) berbahasa Arab.
5. Risalah al-Insan Ba’da al-Dunya (Risalah tentang Manusia Setelah di Dunia) berbahasa Arab.
6. Risalah fi al-Wilayah (Risalah tentang Kekuasaan) berbahasa Arab.
7. Risalah fi al-Nubuwwah (Risalah tentang Kenabian) berbahasa Arab.
8. Kitab Silsilah al-Thabathaba’i fi al-Ajrbaijan (Kitab Silsilah al-Thabathaba’i di Azerbaijan) berbahasa Arab.
Kitab-kitab yang ditulisnya di Qum adalah:
1. Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, berbahasa Arab.
2. Usul al-Falsafah (Dasar-dasar Filsafat) berbahasa Persi.
3. Ta’liqat ‘Ala Kifayah al-Usul (Anotasi atas Kitab Kifayat al-Usul) berbahasa Arab.
4. Ta’liqat ‘Ala al-Asfar al-Arba’ah (Anotasi atas kitab al-Asfar al-Arba’ah) berbahasa Arab.
5. Risalah fi al-I’jaz (Risalah tentang Mu’jizat) berbahasa Persi.
6. Al-Syi`ah fi al-Islam (Islam Syi’ah) berbahasa Arab.
7. Al-Qur’an fi al-Islam (al-Qur’an dalam Islam) berbahasa Persi.

Metode penafsiran al-Thabathaba’i
Sebagai mana yang penulis dapatkkan dalam bukunya pak andi rosa yang beliu kutip dalam jurnal hikmah, “pengantar kepada tafsir” oleh Rozaqqi, bahwasanya muhammad husain al-Thabathaba’i dalam menulis tafsir al-mizan menggunakan beberapa macam perspektif, antara lain perspektif ilmih, teknis, estetis filosofis spiritualis sosiologis dan periwayatan. Akan tetapi hanya ada tiga perspektif yang lebih menonjol dalam penafsirnnya, daiantaranya perspektif periwayatan, sosiologis dan filosofis. Sehingga dengan demikian Corak Penafsiran Kitab Tafsir al-Mizan. berkecenderungan Thabathaba’i dalam menafsirkan al-Quran secara umum penulis kategorikan sebagai tafsir yang multi disiplin. Artinya, segala bidang keilmuan hampir semua corak penafsiran dijelaskan dalam tafsir ini. Hanya saja sebagian orang ada yang mengkategorikannya sebagai tafsir yang memiliki corak filosofis, hal ini berangkat dari penguasaan Thabathaba’i dalam bidang filsafat.
Metode dan Sistematika yang digunakan imam thabathaba’i dalam Penafsirannya Langkah atau sistematika penafsiran Thabathaba’i dalam tafsir al-Mizan adalah dimulai dengan penjelasan seputar mufradat (arti kalimat), kemudian penjelasan dari segi hukum, teologi, dan diakhiri dengan kajian berbagai riwayat.
Tampak dari uraian-uraian yang telah disampaikan bahwa tafsir al-Mizan ini menggunakan metode tafsir tahlili. Semua asumsi tersebut didasarkan pada bentuk penafsiran al-Thabathaba’i yang meliputi:
a) Dalam kitab tafsirnya, al-Thabathaba’i memasukkan rujukan-rujukan yang beraneka ragam baik kepada kitab-kitab tafsir, hadis, sejarah, tata bahasa dan lainnya yang tidak hanya berasal dari rujukan-rujukan kalangan Syi`ah saja.
b) Al-Thabathaba’i menggunakan penafsiran suatu ayat atas ayat yang lain selama hal tersebut sesuai dengan mengkaji susunan kalimat dalam ayat-ayat tersebut. Dia juga memasukkan riwayat-riwayat yang membahas tafsiran suatu ayat selama riwayat tersebut mutawatir baik yang berasal dari Nabi atau para imam Ahl al-Bayt.
c) Perhatian terhadap masalah asbab al-nuzul, masalah qira’at, kaitan suatu ayat dengan ayat sebelum atau sesudahnya (munasabat), juga mengkaji pendapat-pendapat dari kalangan sahabat dan tabi’in menjadi pertimbangan al-Thabathaba’i ketika menafsirkan suatu ayat.
d) Penolakan terhadap kisah-kisah Israiliyat dilakukan al-Thabathaba’i, sehingga dia jarang mengutip kisah Israiliyat ketika menafsirkan al-Qur’an.
e) Menurut al-Thabathaba’i, setiap ayat al-Qur’an dapat dipahami dari dua sisi, yaitu yang tersurat atau makna literal dari suatu ayat yang kemudian disebutnya sebagai aspek lahir dan pemahaman terhadap yang tersirat atau makna yang terdapat “di balik” teks ayat yang disebut aspek batin. Dia menggunakan istilah ta’wil, dalam kitab tafsirnya, untuk maksud mengarahkan kembali pada permulaan atau asalnya. Dengan ta’wil berarti berusaha memahami rahasia batin teks karena makna batinlah makna yang sesungguhnya dari al-Qur’an. Sebuah proses yang mengarahkan penemuan sesuatu dalam teks sebagaimana nampaknya ke pandangan esensi spiritual atau rahasia batinnya melalui tindakan spiritual atau intuitif. Oleh karena itu, ta’wil hanya bisa dilakukan oleh orang yang mempunyai otoritas dalam menerjemahkan agama, menurut al-Thabathaba’i adalah Nabi dan para imam Ahl al-Bayt
Hal lain yang menjadi ciri khas kitab tafsir ini adalah adanya pembahasan masalah-masalah kefilsafatan, seperti menggunakan pendapat-pendapat al-Farabi dan Ibn Sina, selama pendapat tersebut sesuai dengan maksud ayat. Ini dilakukan al-Thabathaba’i hanya sebagai penjelasan tambahan tapi terkadang menolak pendapat-pendapat filsafat yang bertentangan dengan makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Dengan latar belakang teologis yang dipegangnya, yaitu Syi`ah, al-Thabathaba’i berusaha menyajikan penafsiran-penafsiran yang sejalan dengan paham Syi`ah Imamiyah serta meninggalkan paham yang tidak sesuai dengan keyakinan teologisnya. Di samping itu, Thabathaba’i juga memiliki perhatian yang cukup dalam menjelaskan tentang kajian makkiyah dan madaniyyah sebuah ayat.
Metode penafsirannya adalah metode Tahlili, dengan menggunakan dua pendekatan sekaligus yaitu Bi al-Matsur dan Bi al-Ra’yi. Adapun menurut ‘Ali al-Usi dan al-Iyazi jenis bi al-Matsur nya al-Mizan adalah dengan cara Maudhu’i. Namun jenis bi al-Matsur nya tafsir al-Mizan berbeda, misalnya dengan tafsir al-Thabari. Hal ini karena al-Mizan sebagai kitab tafsir yang bercorak Syi’ah, juga didasarkan kepada pendapat para Imam yang diyakini sebagai orang orang yang maksum. Bahkan, Thabataba’i juga menggunakan rasio untuk memahami ayat, teurtama ayat-ayat yang menuntutnya untuk dijelaskan secara filosofis dan logis, seperti masalah Tauhid. ‘Ishmah, keadilan tuhan, perbuatan manusia antara Jabr dan Qadr.
Kemudian Thabataba’i menegaskan kembali bahwa metode yang paling tepat untuk memahami al-Qur’an adalah dengan membiarkan al-Qur’an menjelaskannya sendiri. Tugas kita hanya menganalisa untuk memperoleh pemahaman yang bersifat Qur’ani, sambil diperkuat dengan hadis dan riwayat dari ahli bait yang secara konsisten senantiasa menapaki jejak beliau.
Dari beberapa yang penulis dapatkan dari beberapa referensi yang penulis simpulkan bahwasanya Tafsir al-Mizan menggunakan corak Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an, konsisten termasuk menyangkut masalah akidah dan kisah-kisah. Dalam pandangan al-Thabathaba’i, menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an adalah metode penafsiran yang paling valid (ahsan al-Turuq). Dalam menjelaskan ayat, Thabtaba’i berpedoman kepada pendapat para pakar dari berbagai disiplin Ilmu, seperti tafsir, hadis, tarikh, dan lain-lain, baik yang bersumber dari para Imam Syi’ah Imamiyah, maupun dari kalangan ulama Sunni. Ini dimaksudkan untuk menyingkap sisi-sisi pembahasan yang dikehendaki oleh tema tersebut dan menjaga kejujuran pandangannya terhadap masalah yang dibahas.
Al-Ittijah Dalam Tafsir Al-Mizan
Setelah wafatnya rasulullah dan para sahabat maka dalam tafsir adanya beragam penafsiran, bahkan ini menyebar luas dikalangan ulama-ulama tabiin. Banyaknya keberagaman ini diakibatkan adanya perpecahan dikalangan umat islam. Sehingga ini mengakibatkan berbagai-bagai kelompok didalam umat islam. Keberagaman tafsir itu dikarnakan adanya perbedaan pandangan penafsiran al-quran oleh para ulama-ulama mazhab. Perbedaan pandangan inilah yang menciri khaskan sebuah tafsir. Biasanya para ulama mazhab menyikapi suatu ayat berdasarkan idiologi dan pemahaman yang dia dapatkan dan anuti. Keberagaman penafsiran terjadi dalam tafsir zaman tabiin. Salah satunya ialah tafsir al-mizan karya imam thabathaba’i. Tafsir ini mempunyai orientasi yang mengarahkan padan pandangan imam thobai atas idiologi yang dianutnya. Inilah yang dimaksud dengan istilah al-ittijah yaitu sikap munfasssir, pandangan, mazhab tafsirnya, dan arah yang mendominasi dari segi idiologi baik, syiah atau sunni, mu’tazilah atau asyariyah. Ittijah ini merupakan sebagai ciri tafsir kontemporer. Dimana tafsir yang mempunyai arah tertentu yang disarkan atas pemikiran sang penafsir. Tafsir al-mizan ini merupakan tafsir yang mempunyai orientasi syiah, akan tetapi tidak semua ayat al-quran ditafsirkan berdasarkan pemikiran syiahnya imam thabathaba’i. Hal ini dapat dibuktikan dimana imam thabathabai menerima berbagai pendapat ulama sunni.
Imam thabathaba’i merupakan ulama syiah yang tidak terlalu fanatis terhadap idiologinya, beliau menafsirkan al-quran tidak hanya untuk syiah saja melainkan Imam thabathaba’i menafsirkan al-quran secara keseluruhan, beliau menerima dan mencantumkan pendapat-pendapat para imam tafsir dari berbagai kalangan, baik sunni dan yaang lainnya. Sebagaimana hal ini dapat dibuktikan ketika menafsirkan basmallah. tentang kedudukan Basmalah, baik dalam surat al-Fatihah, dan surat-surat yang lain, Thabataba’i mengambil beberapa riwayat dari para Imam, di antaranya: “dari Amir al-Mu’min (Ali bin Abi Thalib) as. Bahwasanya basmalah termasuk dari surat al-Fatihah, dan Rasulullah SAW selalu membacanya, serta menganggapnya sebagai bagian darinya. Beliau juga bersabda: ‘surat al-Fatihah adalah al-Sab’ al-Matsani’,”
Hadis tersebut menyatakan bahwa basmalah adalah salah satu ayat dari surat al-Fatihah. Sementara dalam beberapa riwayat yang lain menyatakan bahwa basmalah juga termasuk salah satu ayat dari semua surat dalam al-Qur’an, kecuali surat al-Bara’ah, dan ini tidak ada perselisihan pendapat di antara mereka.
Selanjutnya Thabtaba’i juga mengambil beberapa riwayat dari ulama Sunni, diantaranya adalah riwayat Muslim, al-Daruquthni, dan Abu daud. Misalnya dalam riwayat Muslim: “dari Anas, rasulullah SAW bersabda: beru saja turun kepadaku satu surat, lalu beliau membaca Bsmillahirrahmanirahim Inna A’toyna kal Kautsar.”
Berdasarkan kedua hadis di atas, Thabtaba’i menyimpulkan bahwa basmalah, baik di kalangan Syiah maupun Sunni (sesuai dengan hadis riwayat Muslim diatas), bukan hanya bagian dari surat al-Fatihah saja, tetapi ia juga termasuk salah satu ayat dari seluruh surat dalam al-Qur’an, selain al-Bara’ah. Sementara dikalangan Sunni terdapat perbedaan pendapat tentang hukum basmalah ini, yang terbagi dalam tiga pendapat: pertama, Basmalah termasuk salah satu ayat dari al-Fatihah dan surat-surat yang lain. Kedua, Basmalah bukan termasuk bagian dari ayat, baik al-Fatihah maupun surat lainnya. Ketiga, Basmalah termasuk salah satu ayat al-Qur’an, yang berfungsi untuk memisahkan antara surat satu dengan surat lainnya, dan bukan termasuk salah satu ayat dari surat al-Fatihah.
Dalam teknik penafsirannya, Thabtaba’i mengambil beberapa ayat, lalu disusun dalam satu konteks bahasan. Selanjutnya dijelaskan tujuan pokok dan kandungan globalnya, kemudian dijelaskan ayat per ayat.
Adapun hal yang menjadi dan mencirikan tafsir almizan ini terlalu beorientasi terhadap idiologi syiah yaitu ketika imam thabathabai menafsirkan ayat al-quran yang berkaitan dengan pembahasan pemerintahan.
Menurut al-Usi munculnya tafsir al-Mizan ini disebabkan adanya kebutuhan yang mendesak dari kalangan masyarakat akan adanya satu tafsir alternatif, yang dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang makna-makna yang tersurat maupun yang tersirat dari ayat0ayat al-Qur’an, sebagai teks yang paling tinggi kedudukannya dan paling penting dalam wacana keilmuan Islam. Sebab kitab-kitab tafsir yang telah ada banyak dipengaruhi oleh pendapat-pendapat pribadi, sehingga terkadang mereduksi sedemikian dalam makna-makna tekstual dan kontekstual dari ayat-ayat al-Qur’an.
Berkaitan dengan al-Mizan. ‘Ali al-usi berkomentar; “Thabataba’i telah mengumpulkan berbagai macam persoalan penting yang dipengaruhi oleh kebangkitan modern dalam dunia penafsiran. Beliau melakukan perlawanan dengan musuh-musuh Islam yang secara sengaja membelokkan pemahaman keislaman yang benar, yang dilandasi atas jiwa kemasyarakatan yang terlahir dari al-Qur’an itu sendiri. Di dalamnya terdapat sepuluh pembahasan yang cukup penting.”
Fahmi al-Rumi berkomentar: “ketika membaca Tafsir ini secara sekilas memunculkan sebuah kesan bahwa tafsir ini memang tidak untuk orang awam tetapi untuk level ulama. Hal ini ditunjukkan pada pembahasan-pembahasannya yang sangat mendalam. Sebagai mana tafsir al-Kasyaf, yang dianggap oleh para pengkaji tafsir sebagai kitab tafsir terbaik, seandainya tidak terlalu kentara muktazilahnya. Demikian juga al-Mizan, ia kan menjadi kitab tafsir yang terbaik seandainya tidak terlalu menonjol kesyi’ahannya.
Menurut Abu al-Qasim Razzaqi, tafsir menduduki posisi penting karena kulitasnya yang istimewa, tidak hanya diantara buku-buku sejenis, tetapi juga diantara berbagai jenis keislaman baik agama, Ilmu, filsafat dan telebih lagi dalam bidang tafsir yang pernah ditulis sarjana Syiah. Penilaian senada diungkapkan Murtada Mutahhari, salah seorang muridnya. Ia mengatakan bahwa al-Mizan adalah karya terbesar yang pernah ditulis sepanjang sejarah kejayaan islam, dan diperlukan waktu hingga 60 atau 100 tahun (1 abad) sampai orang menyadari kebesarannya.


PENUTUP
Kesimpulan
Thabathaba’i adalah seorang cendikiawan yang pernah dimiliki Iran. Yang di dalam dirinya tergabung berbagai ilmu pengetahuan seperti fiqih, kalam, tasawuf, filsafat dan ilmu eksaks. Penguasaan terhadap berbagai ilmu yang multi-disiplin inilah kemudian berpengaruh pada penafsiran al-Qur’an seperti yang tertuang dalam tafsir al-Mizan. Meski begitu, corak filosofis lebih kental dalam tafsirnya. Ia juga adalah seorang mufassir dari kalangan Syi'ah sehingga warna penafsirannya masih mengikuti alur atau pandangan mazhabnya
Dengan latar belakang teologis yang dipegangnya, yaitu Syi`ah, tentu saja Thabathaba’i berusaha menyajikan penafsiran-penafsiran yang sejalan dengan paham Syi`ah Imamiyah serta meninggalkan paham yang tidak sesuai dengan keyakinan teologisnya. Hal demikian merupakan konsekuensi logis dari sikap teologi yang diyakininya. Meski demikian, tak jarang Thabathaba’i mengutip dan mengambil pendapat ulama dari kalangan Sunni sebagai bentuk komparasi ide dan gagasan.
Dari beberapa yang penulis dapatkan dari berbagai referensi yang penulis simpulkan bahwasanya Tafsir al-Mizan menggunakan corak Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an, atau disebut dengan tafsir bil-ma’stur konsisten termasuk menyangkut masalah akidah dan kisah-kisah. Dalam pandangan al-Thabathaba’i, menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an adalah metode penafsiran yang paling valid (ahsan al-Turuq). Dalam menjelaskan ayat, Thabtaba’i berpedoman kepada pendapat para pakar dari berbagai disiplin Ilmu, seperti tafsir, hadis, tarikh, dan lain-lain, baik yang bersumber dari para Imam Syi’ah Imamiyah, maupun dari kalangan ulama Sunni. Ini dimaksudkan untuk menyingkap sisi-sisi pembahasan yang dikehendaki oleh tema tersebut dan menjaga kejujuran pandangannya terhadap masalah yang dibahas.

Daftar Pustaka
al-Awsiy, Ali, Al-Thabathaba’i Wa Manhajuhu fi Tafsirihi al-Mizan, (Cet. I; Teheran: Mu’awaniyah al-Ri’asah Li al-‘Alaqah al-Dauliyyah Fi Mandzamah al-A’lam al-Islami, 1985)
Rosadisastra, Andi, Tafsir Kontemporer, (serang: dinas pendidikan, 2012)
Thabataba’i, Inilah Islam, Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992)
Thabathabai, Sayid Muhammad, Terjemah Tafsir al-Mizan, (Jakata:Lentera, 2010)
Labib, Muhsin, Para Filosof, (Jakarta: al-Huda, 2005)
A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir,
Musolli, Sunni Syiah Studies: Membongkar Ideologis dalam Penafsiran al-Qur’an, Hlm 75-76
Al-Tabataba'i, Mengungkap Rahasia al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1415 H/1994 M)
Nashr, Sayyid Husain, “Kata Pengantar” dalam karya al-Thabhatabha'i, Al-Qur’an fi al-Islam, terjemahan M. Wahyudin, (Bandung: Mizan, 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar